JAKARTADAILY.ID - "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!" Demikian pidato Presiden pertama Indonesia, Sukarno saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1966. Pidato yang dikenal sebagai Jasmerah itu, mencatat ada 50 kata tentang sejarah. Menunjukkan betapa pentingnya bagi rakyat Indonesia untuk tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri.
Hari ini 19 September, 75 tahun silam saat Republik Indonesia masih berumur tiga tahun, negeri ini dikoyak oleh kebiadaban dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.
Pemberontakan ini bermula dari pergantian kabinet, dimana pada 29 Januari 1948, terbentuklah Kabinet Presidensial dibawah Perdana Menteri Mohammad Hatta, menggantikan Kabinet Parlementer Perdana Menteri Amir Sjarifuddin Harahap. Kabinet baru ini menghadapi tantangan sangat berat, yaitu Persetujuan Renville yang berdampak pada aspek sosial ekonomi, politik, militer dan blokade Belanda. Lalu kabinet ini melancarkan salah satu programnya: Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa) dalam Angkatan Perang yang dikemukakan pada 16 Februari 1948.
Namun, sejatinya masalah ReRa dalam Angkatan Perang telah menjadi keputusan pada waktu Amir Sjarifuddin menjabat Menteri Pertahanan. Karena jabatan ini sudah tidak lagi dipegang Amir - yang condong ke kelompok kiri - maka golongan kiri meradang. Golongan kiri yang terdiri dari unsur PKI, Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan kelaskaran di Jawa Timur menentang Kabinet Hatta.
Baca: Pidato Lengkap Sukarno pada Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Golongan kiri utamanya dimotori PKI, sengaja memanfaatkan isu ReRa untuk menghasut banyak pihak agar menentang pemerintahan yang sah. Sejatinya mereka ingin mendirikan Republik Soviet Indonesia. Golongan kiri ini pada 26 Februari 1948 membentuk FDR dengan Amir Sjarifuddin sebagai ketuanya.
Aksi-aksi hasutan kaum komunis ini semakin menjadi-jadi setelah Suripno, wakil Republik Indonesia di Praha, Cekoslowakia, datang ke Yogyakarta. Semula diberitakan bahwa kedatangannya untuk memberikan kabar bahwa pemerintah Uni Soviet telah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Tetapi Suripno datang dengan membawa seorang "sekretaris" yang bernama Suparto, yang sebenarnya adalah Munawar Muso. Setelah 12 tahun berada di luar negeri, pada 3 Agustus 1948, Muso sang gembong PKI tersebut kembali ke Indonesia. Muso segera terjun ke kancah politik, memanfaatkan kemelut di dalam negeri dengan mengajak FDR berkiblat kepada Uni Soviet dan melebur bersama PKI untuk melakukan "Koreksi Besar" terhadap pemerintahan yang sah. PKI Muso lantas menuntut agar pemerintah memberikan mereka kursi di kabinet.

Muso melakukan agitasi dan propaganda soal kondisi kesulitan ekonomi dengan menghasut rakyat. Ia menuduh pemerintah lemah dan tidak pro rakyat, menunjuk kepada Perjanjian Linggarjati dan Perundingan Renville sebagai bentuk kegagalan pemerintah. Keadaan politik dalam negeri pun memanas. Pemogokan terjadi di mana-mana. Serikat Buruh, pemuda, dan tentara dihasut agar bersama-sama menentang pemerintah dan mendukung rencana PKI Muso.
Baca: Sejarah Bendera Merah Putih, Telah Digunakan Para Leluhur Bangsa Lebih 6000 Tahun Silam
Aksi-aksi hasutan yang dilakukan PKI Muso membuat Republik Indonesia terancam. Di kota Solo terjadi kekacauan. Pada 13 September 1948, aksi teror berupa penculikan dan pembunuhan didalangi oleh FDR dan PKI. Salah satu tokoh proklamasi, Dr. Muwardi menjadi korban kebiadaban pembunuhan PKI. Satuan tentara yang pro PKI dibawah pimpinan Ahmad Jadau membuat kekacauan dengan menyerang satuan TNI yang lain. Pemogokan demi pemogokan terjadi, puncaknya ialah pemogokan besar di Pabrik Delanggu. Semuanya merupakan usaha "pemanasan" yang dilakukan PKI untuk memainkan peranan yang lebih besar lagi, yaitu mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.
Tengah malam 18 September 1948, PKI melancarkan serangan ke kota Madiun dengan serentetan tembakan. Serangan yang sudah direncanakan ini, membuat Madiun dengan singkat dikuasai PKI pada pukul 05:00 pagi. Esok harinya, tanggal 19 September 1948, FDR/PKI dibawah pimpinan Muso dan Amir Sjarifuddin mengumumkan berdirinya Pemerintahan Soviet Republik Indonesia, dan pembentukan Pemerintahan Front Nasional. Pengumuman dibacakan oleh Supardi, tokoh Pesindo di halaman Karesidenan Madiun.
Dengan menggunakan beberapa ribu anggota satuan TNI yang memihak PKI - sebagian besar eks Pesindo - mereka menjadikan Madiun sebagai ibukota pemerintahan komunis.