JAKARTADAILY.ID - Setelah dua tahun mengambil kebijakan fiskal yang akomodatif untuk menghadapi dampak negatif Covid-19 terhadap kesehatan penduduk, pendapatan, dan lapangan kerja, pemerintah ASEAN-6 kembali ke sikap konsolidasi tahun ini dan DBS Bank Ltd (Bank DBS) memperkirakan defisit fiskal menyempit lebih lanjut pada tahun 2023. Hal ini diperlukan karena tiga alasan:
a) untuk menjaga kebijakan fiskal selaras dengan perubahan kebijakan moneter (kebijakan suku bunga acuan rendah);
b) melengkapi upaya untuk menekan inflasi dan ekspektasi inflasi;
c) menjaga agar kondisi fiskal dan posisi utang tidak memburuk seiring dengan kenaikan bunga pinjaman.
"Pembukaan kembali serta kenaikan harga komoditas yang membantu kinerja menjadi penopang pendapatan sebagian besar negara ASEAN-6 tahun ini, selain tingkat pertumbuhan nominal yang tinggi. Hal ini membantu mengurangi pengeluaran paket bantuan pada masa pandemi secara bertahap dan kondisi keuangan negara," tulis Radhika Rao, ekonom senior Bank DBS Zona Eropa, India, dan Indonesia dalam keterangannya, Jakarta, Jumat, 25 November 2022.
Menurut Radhika Rao, dinamika akan berbeda pada tahun depan. Walau dibenarkan dan diperlukan, pemerintah menghadapi masalah pelik tahun depan terkait kecepatan penurunan defisit karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan melambat. Defisit diperkirakan tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi.
Baca: DBS Group Research: Kenaikan Harga BBM dan Dampak Terhadap Inflasi
Bank DBS membahas dinamika fiskal ASEAN-6 dari beberapa sudut pandang:
● Dorongan Fiskal
Upaya konsolidasi di kawasan dapat dilihat dari pergeseran ke dorongan fiskal negatif (diukur oleh perubahan neraca fiskal primer yang disesuaikan secara periodik) pada 2022. Walau masih dalam jalur, perbaikan neraca fiskal masih jauh jika dibandingkan dengan sikap ekspansif yang diambil selama pandemi, didorong oleh krisis kesehatan dalam skala belum pernah terjadi.
Bank DBS memperkirakan dorongan fiskal kawasan akan menurun hingga 2023, kecuali Vietnam – yang telah meluncurkan paket pemulihan ekonomi pada awal 2022 dan berlangsung hingga tahun depan.
● Pendapatan fiskal akan menurun
Setelah setahun meraih pendapatan yang tinggi pada 2022, ditopang oleh pemulihan sektor swasta, pembukaan kembali yang meningkatkan arus konsumsi dan perdagangan (berbasis sumber daya, bea cukai, dan lain-lain), tantangan pendapatan akan muncul kembali pada 2023. Penurunan pertumbuhan ekonomi berpeluang menimbulkan risiko terhadap pendapatan (pembilang) serta pertumbuhan PDB nominal (denominator/penyebut), di tengah tantangan eksternal global lebih besar, sehingga kondisinya akan lebih sulit bagi bisnis, konsumen, dan perdagangan, serta pengumpulan pajak terkait.
Menilik lebih jauh ke depan, pendapatan pajak sebagai bagian dari PDB telah mengalami penurunan struktural di seantero kawasan sebelum pandemi dan selama dasawarsa terakhir, kecuali Filipina. Setiap negara mengambil pendekatan berbeda untuk mengatasi hal ini. Indonesia dan Malaysia mencatatkan pendapatan pajak terendah sebagai persentase PDB di antara negara lain.
Porsi Indonesia mencapai sekitar 10 persen dari PDB, sementara Malaysia berkisar ~11 persen dalam beberapa tahun terakhir. Untuk Indonesia, upaya untuk mengimbangi kelemahan ini sedang dilakukan, misalnya dengan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tahun ini selain pajak tidak langsung (rokok, pajak karbon, skema amnesti sukarela satu kali).
Baca: DBS Group Research: Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Inflasi Masih Berlanjut
Namun basis pajak lebih luas akan diperlukan untuk meningkatkan rasio secara struktural. Basis pajak Malaysia semakin melemah setelah penggantian pajak barang dan jasa (GST) pasca pemilu 2018. Tidak ada ukuran pendapatan baru yang
diumumkan dalam anggaran 2023, dan semua mata akan tertuju pada strategi pendapatan jangka menengah pemerintah setelah pemilihan umum ke-15 pada November 2022.
● Pemotongan pengeluaran sedang berlangsung, tetapi fokus ditujukan pada pembangunan infrastruktur
Pemotongan pengeluaran akan berperan dalam konsolidasi fiskal ASEAN saat pendapatan lebih ketat. Para pengambil kebijakan di kawasan ASEAN telah menghentikan insentif pandemi karena ekonomi sudah mulai pulih dari krisis terburuk. Pengeluaran keseluruhan sebagai bagian dari PDB cenderung menurun dari titik tertinggi pada 2021 di seluruh kawasan, kecuali Vietnam.
"Komposisi pengeluaran daerah menunjukkan penurunan pengeluaran konsumsi saat ini, namun tetap memberikan penekanan dan dukungan pada pengeluaran pembangunan atau modal pada tahun mendatang. Karena perdagangan eksternal dan konsumsi diperkirakan melambat pada 2023, berbagai negara akan berupaya mengalihkan pendanaan ke infrastruktur dan investasi publik untuk mendorong momentum pemulihan," terang Radhika Rao.
Artikel Terkait
Menkeu Optimis Pemulihan Ekonomi Domestik Berlanjut, Namun APBN Harus Tetap Dijaga Sebagai Shock Absorber
Menkeu: Ekonomi Indonesia Pulih Cepat, Namun Harus Waspada, Tahun Depan Dunia Diprediksi Mengalami Resesi
Presiden Perintahkan Menkeu untuk Jaga Setiap Rupiah di APBN
Menkeu Dorong Percepatan Transisi Hijau pada Pertemuan ke-8 Koalisi Menteri Keuangan G20
Menkeu Umumkan Cukai Rokok Naik 10 Persen di 2023, Harga Rokok Biasa dan Elektronik Makin Mahal Tahun Depan
Kinerja Ekspor Indonesia Semakin Mekar, Dapat Kontrak Dagang dari China Sebesar USD 8,3 Miliar